Second Menu
▼
Pages
▼
Minggu, 16 Juni 2013
Sejarah Penyusunan Hadits
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.
Pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup, hadits belum ditulis dan masih berupa hapalan yang ada dibenak para sahabat. Para sahabat belum merasa ada urgensi untuk melakukan penulisan, mengingat Nabi masih mudah dihubungi untuk dimintai keterangan-keterangan tentang segala sesuatu.
Diantara sahabat, tidak semuanya bergaul dengan nabi. Ada yang sering menyertai atau ada yang hanya beberapa kali saja bertemu Nabi. Oleh sebab itu, hadits yang dimiliki setiap sahabat itu tidak selalu sama banyaknya ataupun macamnya. Demikian pula ketelitiannya. Namun demikian, diantara para sahabat itu sering bertukar berita (hadist) sehingga perilaku Nabi Muhammad banyak yang diteladani, ditaati, dan diamalkan sahabat bahkan umat Islam pada umumnya pada waktu Nabi Muhammad masih hidup.
Dengan demikian, pelaksanaan hadist dikalangan umat Islam pada saat itu selalu berada dalam kendali dan pengawasan Nabi Muhammad baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karenanya, para sahabat tidak mudah berbuat kesalahan yang berlarut-larut. Hadist yang telah diamalkan/ditaati oleh umat Islam dimasa Nabi Muhammad masih hidup, oleh ahli hadist disebut sebagai Sunnah Muttaba’ah Ma’rufah. Itulah setinggi-tinggi kekuatan kebenaran hadist.
Meski pada masa itu, hadist berada pada ingatan para sahabat, namun ada sahabat yang menuliskannya untuk kepentingan catatan pribadinya (bukan untuk kepentingan umum). Diantaranya ialah :
‘Abdullah bin ‘Umar bin ‘Ash (dalam himpunan As Shadiqah)
‘Ali bin Abi Thalib (dalam shahifahnya mengenai hukum-hukum diyat yaitu soal denda atau ganti rugi).
Masa Penggalian
Setelah Nabi Muhammad wafat (tahun 11 H / 632 M), pada awalnya belum menimbulkan masalah mengenai hadits, karena sahabat sebagian besar masih hidup dan seakan-akan menggantikan peran nabi sebagai tempat bertanya saat timbul masalah yang memerlukan pemecahan, baik mengenai hadist ataupun Al Quran.
Sejak Kekhalifahan Umar bin Khaththab (tahun 13 – 23 H atau 634 – 644 M), wilayah dakwah Islamiyah dan Daulah Islamiyah mulai meluas hingga ke Jazirah Arab, maka mulailah timbul masalah-masalah baru khususnya pada daerah-daerah baru sehingga makin banyak jumlah dan jenis masalah yang memerlukan pemecahannya. Meski para sahabat tempat tinggalnya mulai tersebar dan jumlahnya mulai berkurang, namun kebutuhan untuk memecahkan berbagai masalah baru tersebut terus mendorong para sahabat untuk saling bertemu dan bertukar hadist.
Kemudian para sahabat kecil (berusia muda) mulai mengambil alih tugas penggalian hadits dari para sumbernya, yaitu para sahabat besar (senior). Kehadiran seorang sahabat besar selalu menjadi pusat perhatian para sahabat kecil terutama para tabi’in. Meski memerlukan perjalanan jauh, para tabi’in ini berusaha menemui seorang sahabat yang memiliki hadist. Maka, para tabi’in mulai banyak memiliki hadist yang diterima atau digalinya dari sumbernya yaitu para sahabat. Meski demikian, pada masa itu hadist belumlah ditulis apalagi dibukukan.
Masa Penghimpunan
Musibah besar menimpa umat Islam pada masa awal Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Musibah itu berupa permusuhan diantara sebagian umat Islam yang memakan banyak korban jiwa dan harta yang tidak sedikit. Pihak-pihak yang bermusuhan itu semula hanya memperebutkan kedudukan kekhalifahan kemudian bergeser kepada bidang Syari’at dan Aqidah dengan membuat hadist maudlu’ (palsu) yang bertujuan untuk mengesahkan keinginan/ perjuangan mereka yang saling bermusuhan itu.
Keadaan menjadi semakin memprihatinkan dengan terbunuhnya Khalifah Husain bin Ali bin Abi Thalib di Karbala (tahun 61 H / 681 M). Para sahabat kecil yang masih hidup dan para tabi’in yang melihat kondisi seperti itu, kemudian mengambil sikap dengan tidak menerima lagi hadist baru, yaitu yang sebelumnya tidak mereka miliki. Kalaupun ada yang menerima, para sahabat kecil dan tabi’in ini sangat berhati-hati.
Hadits kemudian diteliti dengan secermat-cermatnya mengenai siapa yang menjadi sumber dan siapa yang membawakannya. Sebab mereka ini tahu benar siapa-siapa yang melibatkan diri atau terlibat dalam persengketaan dan permusuhan masa itu. Mereka tahu benar keadaan pribadi-pribadi sumber / pemberita hadist. Misal, apakah dia seorang yang pelupa atau tidak, masih kanak-kanak atau telah udzur, benar atau tidaknya sumber dan pemberitaan suatu hadist dan sebagainya. Pengetahuan yang demikian itu diwariskan kepada murid-murid mereka (tabi’in), yaitu para tabi’ut tabi’in.
Umar bin Abdul Aziz, seorang khalifah dari Bani Umayah (tahun 99 – 101 H / 717 – 720 M) termasuk tabi’in yang memiliki jasa yang besar dalam penghimpunan hadist. Para kepala daerah diperintahkannya untuk menghimpun hadist dari para tabi’in yang terkenal memiliki banyak hadist. Seorang tabi’in yang terkemuka saat itu yakni Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdullah bin Syihab Az Zuhri (tahun 51 – 124 H / 671 – 742 M) diperintahkan untuk melaksanakan tugas tersebut. Untuk itu, Az Zuhri menggunakan semboyannya yang terkenal yaitu al isnaadu minad diin, lau lal isnadu la qaala man syaa-a maa syaa-a (artinya : Sanad itu bagian dari agama, sekiranya tidak ada sanad maka berkatalah siapa saja tentang apa saja).
Az Zuhri melaksanakan perintah itu dengan kecermatan yang setinggi-tingginya, ditentukannya mana yang maqbul dan mana yang mardud. Para ahli hadits menyatakan bahwa Az Zuhri telah menyelamatkan 90 hadits yang tidak sempat diriwayatkan oleh rawi-rawi yang lain.
Di tempat lain pada masa ini, muncul juga penghimpun Al Hadist yang antara lain :
di Mekkah – Ibnu Juraid (tahun 80 – 150 H / 699 – 767 M)
di Madinah – Ibnu Ishaq (wafat tahun 150 H / 767 M)
di Madinah – Sa’id bin ‘Arubah (wafat tahun 156 H / 773 M)
di Madinah – Malik bin Anas (tahun 93 – 179 H / 712 – 798 M)
di Madinah – Rabi’in bin Shabih (wafat tahun 160 H / 777 M)
di Yaman – Ma’mar Al Ardi (wafat tahun 152 H / 768 M)
di Syam – Abu ‘Amar Al Auzai (tahun 88 – 157 H / 707 – 773 M)
di Kufah – Sufyan Ats Tsauri (wafat tahun 161 H / 778 M)
di Bashrah – Hammad bin Salamah (wafat tahun 167 H / 773 M)
di Khurasan – ‘Abdullah bin Mubarrak (tahun 117 – 181 H / 735 – 798 M)
di Wasith (Irak) – Hasyim (tahun 95 – 153 H / 713 – 770 M)
- Jarir bin ‘Abdullah Hamid (tahun 110 – 188 H / 728 – 804 M)
Yang perlu menjadi “catatan” atas keberhasilan masa penghimpunan hadist dalam kitab-kitab di masa Abad II Hijriyah ini, hadist tersebut belum dipisahkan mana yang marfu’, mana yang mauquf, dan mana yang maqthu’.
Masa Pendiwanan dan Penyusunan
Usaha pendiwanan (yaitu pembukuan, pelakunya ialah pembuku hadits disebut pendiwan) dan penyusunan hadits dilaksanakan pada masa abad ke 3 H. Langkah besar dalam masa ini diawali dengan pengelompokan hadits. Pengelompokan dilakukan dengan memisahkan mana hadits yang marfu’, mauquf dan maqtu’. Hadits marfu’ ialah hadits yang berisi perilaku Nabi Muhammad, hadits mauquf ialah hadits yang berisi perilaku sahabat dan hadits maqthu’ ialah hadits yang berisi perilaku tabi’in. Pengelompokan tersebut diantaranya dilakukan oleh :
Ahmad bin Hambal
‘Abdullan bin Musa Al ‘Abasi Al Kufi
Musaddad Al Bashri
Nu’am bin Hammad Al Khuza’i
‘Utsman bin Abi Syu’bah
Karya yang mendapat perhatian besar dari ulama-ulama sesudahnya adalah Musnadul Kabir karya Ahmad bin Hambal (164-241 H / 780-855 M) yang berisi 40.000 hadits, 10.000 diantaranya berulang-ulang. Menurut ahlinya, sekiranya Musnadul Kabir ini tetap sebanyak yang disusun Imam Ahmad, maka tidak ada hadist yang mardud (tertolak). Mengingat musnad ini selanjutnya ditambah-tambah oleh anak Imam Ahmad sendiri yang bernama ‘Abdullah dan Abu Bakr Qathi’i sehingga tidak sedikit tercampur dengan yang dha’if dan 4 hadist maudlu’.
Adapun pendiwanan hadits dilaksanakan dengan penelitian sanad dan rawi-rawinya. Ulama terkenal yang mempelopori usaha ini adalah :
Ishaq bin Rahawaih bin Mukhlad Al Handhali At Tamimi Al Marwazi (161-238 H / 780-855 M). Ia adalah salah satu guru Ahmad bin Hambal, Bukhari, Muslim, At Tirmidzi, An Nasai.
Usaha Ishaq ini kemudian dilanjutkan oleh Bukhari, kemudian diteruskan oleh muridnya yaitu Muslim. Akhirnya, ulama-ulama sesudahnya meneruskan usaha tersebut sehingga pendiwanan kitab hadits terwujud dalam kitab Al Jami’ush Shahih Bukhari, Al Jami’ush Shahih Muslim, As Sunan Ibnu Majah, dan seterusnya sebagaimana terdapat dalam daftar kitab masa abad 3 Hijriyah.
Perlu menjadi catatan pada masa ini (abad 3 H) ialah, telah diusahakannya untuk memisahkan hadits yang shahih dari Al Hadits yang tidak shahih sehingga tersusun 3 macam hadits, yaitu:
Kitab Shahih – (Shahih Bukhari, Shahih Muslim) – berisi hadits yang shahih saja
Kitab Sunan – (Ibnu Majah, Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasai, Ad Damiri) – menurut sebagian ulama selain Sunan Ibnu Majah berisi hadit shahih dan hadits dla’if yang tidak munkar.
Kitab Musnad – (Abu Ya’la, Al Humaidi, Ali Madaini, Al Bazar, Baqi bin Mukhlad, Ibnu Rahawaih) – berisi berbagai macam hadits tanpa penelitian dan penyaringan dan hanya digunakan para ahli hadits untuk bahan perbandingan.
Para ahli hadits abad ke- 3 Hijriyah, tidak banyak mengeluarkan atau menggali hadits dari sumbernya seperti halnya ahli hadits pada abad ke-2 Hijriyah. Ahli hadits abad ke-3 umumnya melakukan tashih (koreksi atau verifikasi) hadits yang ada, selain juga menghafalkannya. Sedangkan pada masa abad ke-4 Hijriyah, dapat dikatakan sebagai masa penyelesaian pembinaan hadist. Sedangkan abad ke-5 Hijriyah dan seterusnya adalah masa memperbaiki susunan kitab hadits, menghimpun yang berserakan dan mempermudah metode pembelajarannya.
Sumber : http://pondokalmadinah.com