Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.
Al-Qur’an dibuat oleh Penciptanya juga bertujuan agar bisa dibaca, dimengerti, dipahami, dijadikan pedoman hidup bagi manusia. Isinya berkisar tentang bagaimana eksistensi Yang Menciptakan, bagaimana cara berhubungan dengan Yang Menciptakan, apa yang harus diucapkandan dilakukan dalam berhubungan dengan Yang Menciptakan, berisi peraturan mana yang boleh mana yang tidak boleh dikerjakan sesuai keinginan Yang Menciptakan, apa saja janji dan ancaman kalau melanggarnya, cerita tentang contoh-contoh orang-orang yang melakukan keta’atan dan pelanggaran untuk dijadikan pelajaran.
‘Sang
Penulis’ Al-Qur’an tentunya menginginkan si pembacanya lalu memang membaca,
mengerti dan mengikuti apa-apa yang tercantum di dalam Al-Qur’an tersebut.
Terdapat beragam tingkatan dan variasi dari orang-orang dituju oleh Sang
Pencipta Al-Qur’an ini, mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, laki-laki dan
perempuan, dari bermacam status sosial, mulai dari pembantu rumah-tangga sampai
boss konglomerat, mulai dariIQ rendah sampai jenius, dari bermacam-macam latar
belakang ilmu, astronomi, teknik, ekonomi, hukum, politik.
Lalu
bagaimanakah seharusnya sebuah kitab harus ‘menampilkan dirinya’ agar bisa
memenuhi keinginan Yang Membuatnya serta sesuai hasrat semua orang-orang
itu..?? Kalau Al-Qur’an disusun
secara kronologis seperti buku sejarah, mungkin hal tersebut sama sekali tidak
memuaskan si ahli Fisika, kalau kalimatnya ‘tingkat tinggi’ malah bisa
membingungkan sang pembantu yang tidak tamat SD, kalau bahasanya terlalu
teknis, pastilah dianggap ‘cetek’ oleh sang pujangga atau penyair.
Sebuah
buku ataupun tulisan bisa menimbulkan pengaruh kepada pembacanya bila disaat
membaca buku tersebut, si pembaca seolah-olah ‘masuk’ ke dalam ide yang
terdapat dibalik tulisan itu. Lalu bagaimanakah mungkin sebentuk tulisan yang
sama bisa membuat pembacanya yang datangdari bermacam-macam latar belakang tadi
bisa ‘masuk’ dan terpengaruh oleh bacaan yang sama itu..??
Ada
cerita menarik dari Komaruddin Hidayat, mengisahkan tentang temannya, seorang
Profesor di universitas McGill, Montreal, Canada yang telah masuk Islam. Profesor
tersebut mengemukakan pendapatnya tentang Al-Qur’an : “Jika saya membaca
buku-buku teori akademis, cukuplah seminggu persiapannya dan saya akan bisa
menjelaskannya di depan mahasiswa saya 80 % dari kandungan buku tersebut. Kalau
saya membaca buku novel, maka cukuplah sekali saja, sudah malas untuk membaca
kedua kalinya. Buku-buku ilmiah itu logikanya linier, runtut, mudah diikuti
uraiannya, dengan metode ‘speed reading’ sebuah buku tebal bisa tamat dibaca
hanya dalam waktu sehari.
Namun
ketika saya membaca Al-Qur’an, saya menemukan gaya penuturan yang sangat
kompleks, adakalanya linier, lalu memutar balik, dan kalau dicermati saling
berhubungan membentuk jaringan makna. Sekalipun saya membaca ayat yang sama
seperti yang saya baca kemaren, saya menemukan adanya perbedaan kesan dan
rasa”.
Dalam
Al-Qur’an pendapat Sang Profesor ini terlihat jelas dalam pemakaian kata ganti
subjek dan objek yang berubah-ubah, pergantian tersebut serasa ‘mengombang-ambingkan’
kita terlarut dalam kalimat yang sedang kita baca.
Sulaiman
ath-Tharawanah, dalam bukunya ‘Rahasia Pilihan Kata dalam Al-Qur’an’
mengemukakan pendapat ahli sastra Roman Jakson yang mengatakan :”Menjadikan
struktur teks secara khusus sebagai objek kajian merupakan pendekatan yang
paling sesuai untuk menilai dimensi estetika suatu bahasa” dan ath-Tharawanah
menyatakan bahwa :”dimensi estetika atau keindahan struktur teks-teks Al-Qur’an
merupakan salah satu sisi penting kemukjizatan Al-Qur’an”, sehingga menimbulkan
apa yang telah dirasakan dan diungkapkan
Sang Profesor teman
dari Mas Komar tadi.
Selanjutnya
dicontohkan kisah dalam Al-Qur’an : Surat al-Kahfi, mengisahkan pelarian
beberapa orang pemuda dari kaumnya yang zalim, bersembunyi dalam sebuah goa dan
ditidurkan Allah selama 300 tahun :
Pada
awalnya, deskripsi kisah tersebut menggunakan kata ganti orang kedua yang
ditujukan kepada pembaca (harap selalu diingat bahwa Al-Qur’an bukanlah
berbentuk percakapan Allah dengan nabi Muhammad SAW, atau Allah ‘bicara’ nabi
Muhammad mendengar, tapi Al-Qur’an merupakan firman Allah yang ‘diambil’
malaikat Jibril dari lauh mahfuzh, lalu disampaikan kepada nabi Muhammad SAW,
untuk kemudian disampaikan lagi kepada kita, jadi fungsi Rasulullah disini
hanyalah sebagai ‘pipa saluran wahyu’ tidak lebih dan tidak kurang) .
Ø Apakah
kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim
itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan? (QS. 18:9)
Kata ganti orang kedua pada ayat diatas
menunjukkan proses dialog satu arah, antara pengisah yaitu Allah, dan pembaca
atau pendengarnya. Lalu pada bagian berikut deskripsi kisah berubah menggunakan
kata ganti orang pertama yang tidak tampak dan netral :
Ø (Ingatlah)
tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua lalu mereka berdo’a:
"Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan
sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)".
(QS. 18:10)
Kalaulah
Al-Qur’an diwahyukan dengan cara ‘dialog’ antara Allah denga nabi Muhammad SAW,
maka ayat tersebut tidak akan berbunyi demikian tapi ‘ lalu mereka berdo’a
kepada Kami meminta rahmat Kami dari sisi Kami dan meminta kesempurnaan
petunjuk bagi mereka dalam urusam mereka’, hasilnya apa yang mereka do’akan
tersebut tidak akan bermanfat apa-apa bagi kita, na-mun dengan ‘penyajian’ gaya
bahasa seperti itu, do’a yang dipanjatkan oleh para pemuda tersebut bisa
dipakai juga sebagai do’a kita kepada Allah kapanpun dan untuk urusan apapun.
Pada bagian berikut, deskripsi kisah berubah menggunakan kata ganti orang
pertama :
Ø
Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu.
(QS.18:11)
Ø
Kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah
di antara kedua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung berapa lamanya
mereka tinggal (dalam gua itu). (QS.18:12)
Tujuan disampaikannya
kisah-kisah orang terdahulu dalam Al-Qur’an adalah :
Ø
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran
bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Qur’an itu bukanlah cerita yang
dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitabkitab) yang sebelumnya dan
menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang
beriman. (QS. 12:111)
Dari
rentetan ketiga ayat surat al Kahfi tersebut saja kita sudah bisa mengambil
pelajaran,
bagaimana cara berdo’a
dan gambaran yang disampaikan bahwa Allah akan langsung mem’followup’ do’a yang
kita panjatkan.
Berdasarkan
fakta tekstual dalam deskripsi ayat diatas, difahami bahwa yang menutup telinga
mereka adalah pengisah itu sendiri, dengan demikian posisi pengisah yaitu
Allah, adalah juga termasuk sebagai salah satu tokoh kisah yang memiliki peran
cukup dominan. Saat kisah ini mulai diangkat dan ditujukan kepada umum,
deskripsi perincian peristiwa mulai diucapkan oleh ‘orang pertama’ (pengisah)
sang pemegang otoritas lajunya seluruh peristiwa dalam kisah, dan kita bisa merasakan
semua kejadian sengaja diceritakan khusus kepada kita sebagai pendengar atau
pembaca.
Hal
ini dapat kita tangkap dari penggunaan kata ‘alaika’ (kepadamu) setelah kata
kerja
‘naqushshu’ (kami
kisahkan). Memasuki adegan selanjutnya, terlihat pengisah (Allah) menghendaki kita
sebagai pembaca atau pendengar merasa menjadi bagian atau terlibat dalam cerita
tersebut.
Situasi
ini dapat kita tangkap dari deskripsi perkataan salah seorang pemuda berikut
yang seakan-akan ditujukan kepada kita tanpa perantara si pengisah. Karena itu
kita seolah-olah berada bersama mereka mengalami sendiri kejadiannya. Pembaca
seolah-olah menembus tembok pemisah dunianya menuju alam kisah sehingga larut
dan terlibat dalam adegan kisah, mendengarkan mereka bicara langsung kepada
kita :
Ø
dan Kami telah meneguhkan hati mereka di waktu mereka
berdiri lalu mereka berkata: "Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi;
kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia, sesungguhnya kami kalau
demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran". (QS.
18:14)
Ø
Kaum kami ini telah menjadikan selain Dia sebagai
tuhan-tuhan (untuk di sembah). Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang
terang (tentang kepercayaan mereka?) Siapakah yang lebih zalim daripada
orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah? (QS. 18:15)
Tentunya
mereka tidak sedang berdialog dengan Tuhan yang mengisahkan cerita ini, bukan juga
berdialog antara mereka sendiri, lalu kepada siapakah perkataan ‘Tuhan kami
adalah tuhan langit dan bumi„???’, mereka sedang bicara langsung dengan kita,
kita seolah-olah ada disana mendengar mereka berkata langsung menghadapkan
mukanya kepada kita. Seterusnya bisa anda lanjutkandengan membaca buku tersebut
dan melihat bagaimana ‘kepiawaian’ gaya bahasa Al-Qur’an menyeret kita untuk
ikut terlibat dalam cerita, mengambil pelajaran dan mengambil contoh perkataandan
do’a untuk kita pakai.
Dalam
buku yang lain ‘Mukjizat Al-Qur’an’, ustadz Quraish Shihab mengungkapkan
pemakaian kata yang menarik sehubungan tentang surga dan neraka (Surat Az
Zumar) :
Ø
Orang-orang kafir dibawa ke neraka Jahannam
berombong-rombongan. Sehingga apabila mereka sampai ke neraka itu dibukakanlah
pintu-pintunya dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya: "Apakah
belum pernah datang kepadamu rasul-rasul..” (QS. 39: 71)
Ø
Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya dibawa ke
dalam surga berombongrombongan (pula). Sehingga apabila mereka sampai ke surga
itu sedang pintu-pintunya telah terbuka dan berkatalah kepada mereka
penjaga-penjaganya: "Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu,… (QS. 39:73)
Sepintas
struktur bahasanya terlihat sama sesuai tujuan masih-masing, prosesnya juga
sama, dibawa berombongan, setelah sampai pintu yang terbuka, dan penjaganya
yang menyapa. Tapiada sedikit perbedaan dalam hal ‘pintu yang terbuka’, dalam
ayat 71 tentang neraka ditulis ‘izaa jaa uuhaa futihat’, sedangkan dalam ayat
73 tentang surga ditulis ‘izaa jaa uuhaa wafutihat’ diartikan bagi penghuni
neraka, pintu baru dibuka setelah mereka sampai di depan pintu, sedangkan untuk
para penghuni surga, pintu surga terlah terbuka menyambut mereka sebelum mereka
sampai di depannya.
Kita
perhatikan kecermatan pemakaian gaya bahasa Al-Qur’an, bukankah kalau kita
mengantar seorang penjahat ke penjara atau tempat hukuman, pintunya baru dibuka
setelah kita sampai..?? Bukankah kalau kita hendak menyambut tamu terhormat
yang akan datang ke rumah kita, pintu gerbang rumah kita sudah kita buka
lebar-lebar sebelum tamu tersebut datang,..?? Banyak sudah kajian orang tentang
pemakaian kata dan bahasa dalam Al-Qur’an, mudah mudahan ini bisa anda jadikan
pengantar untuk pendalaman lebih lanjut..
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Oleh : sdr Archa
(Kajian Lintas Agama / www.muslim-menjawab.com)
Sumber : http://forum.swaramuslim.net/