(QS. Al-A’raf: 143-147)
Selanjutnya, dibentangkanlah sebuah pemandangan unik yang dikhususkan
Allah untuk Nabinya yang bernama Musa a.s. Pemandangan yang berupa
pembicaraan langsung antara Allah Yang Mahaagung dengan salah seorang
hamba-Nya.
Pemandangan tentang hubungan sebutir debu yang terbatas dan fana
dengan Wujud yang azali dan abadi dengan tanpa perantaraan, dan si
manusia ini mampu menghadap Sang Maha Pencipta dan Mahakekal, yang jauh
dari atas bumi ini.
Kita tidak mengetahui bagaimana hal itu terjadi. Kita tidak tahu
bagaimana Allah berbicara kepada Musa. Kita tidak tahu dengan perasaan
yang mana, anggota tubuh yang mana, dan dengan alat apa Musa menerima
kalimat-kalimat Allah itu.
Maka, menggambarkan hakikatnya yang sebenarnya tidak mungkin dapat
kita lakukan sebagai manusia yang kemampuan kita serba terbatas ini,
kita memiliki jiwa halus dari ruh Allah di dalam diri kita, yang
dengannya kita dapat pergi dan naik ke ufuk tinggi dan memancarkan
cahaya itu.
Kemudian, kita berhenti di tempat terhormat ini dengan tidak
mencoba-coba merusaknya dengan mempertanyakan apa dan bagaimananya. Kita
ingin menggambarkannya menurut kemampuan kita yang dekat dan terbatas.
“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang
telah Kami tentukan dan Tuhannya telah berfirman (langsung) kepadanya,
berkatalah Musa, ‘Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar
aku dapat melihat kepada Engkau…” (QS. Al-A’raf: 143)
Itu adalah peristiwa yang menakutkan dan membingungkan. Tetapi, Musa
mampu menerima kalimat-kalimat Tuhannya, dan ruhnya melihat, mendekat,
bergelora kepada apa yang dirindukannya.
Maka, Musa lupa siapa dirinya, dia lupa apa dirinya itu, dan ia
meminta sesuatu yang tidak layak dilakukan manusia di muka bumi ini, dan
meminta sesuatu yang tidak dapat dipenuhi manusia di dunia ini. Ia
meminta dapat melakukan penglihatan yang teragung, permintaan yang
didorong oleh desakan rindunya, dorongan harapannya, gejolak cintanya,
dan keinginannya untuk menyaksikan, hingga ia diingatkan oleh kalimat
yang pasti.
“Tuhan berfirman, ‘Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku….”
Kemudian, Tuhan Yang Mahaagung lagi Mahamulia berbelas kasihan
kepadanya, dan memberitahukan kepadanya mengapa dia tidak akan dapat
melihat-Nya, yaitu bahwasanya ia tidak akan mampu.
“Akan tetapi, lihatlah ke bukit itu. Maka, jika tetap di tempatnya (seperti sediakala), niscaya kamu dapat melihat-Ku.”
Gunung itu begitu kokoh dan mantap, dan gunung dengan kekokohan dan
kemantapannya lebih kecil keterpengaruhannya dan responnya daripada
manusia. Akan tetapi, apakah gerangan yang terjadi?
“Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh…”
Bagaimana bentuk dan cara tajalli ‘penampakan diri’ Allah itu? Kita
tidak dapat menyifati dan mengidentifikasinya. Kita tidak dapat
mengetahuinya. Kita tidak dapat melihatnya kecuali dengan kehalusan yang
menghubungkan kita dengan Allah, ketika ruh kita bersih dan jernih, dan
menghadap secara total kepada sumbernya.
Ada pun kata-kata murni tidaklah dapat memindahkan sesuatu pun. Oleh
karena itu, kami tidak mencoba melukiskan tajalli ini dengan kata-kata.
Kami cenderung membuang semua riwayat dalam menafsirkannya. Karena tidak
satu pun yang berasal dari Rasul saw. Alquranul Karim sendiri tidak
mengatakan sesuatu pun.
“Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh…”
Seluruh puncaknya tenggelam hingga terlihat rata dengan tanah, hancur
berantakan. Musa sangat takut, dan berlakulah sesuatu pada keberadaan
dirinya sebgai manusia yang lemah.
“Dan, Musa pun jatuh pingsan.”
Ia pingsan, tidak sadarkan diri.
“Maka setelah Musa sadar kembali….”
Kembali kepada dirinya, dan mengetahui ukuran kemampuannya, dan
menyadari bahwa dia telah melakukan permintaan yang melebihi batas.
“Dia berkata, ‘Mahasuci Engkau….”
Mahasuci dan Mahatinggi Engkau, tak mungkin mata manusia dapat melihat dan memandang-Mu.
“Aku bertaubat kepada Engkau,” dari melakukan permintaan yang melampaui batas.
Sumber : eramuslim.com