"Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan
Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling daripada-Nya, sedang kamu
mendengar (perintah-perintah-Nya), dan janganlah kamu menjadi sebagai
orang-orang (munafik) yang berkata: "Kami mendengarkan, padahal mereka
tidak mendengarkan." Sesungguhnya binatang (makhluk) yang
seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli
yang tidak mengerti apa-apa pun. Kalau kiranya Allah mengetahui kebaikan
ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar. Dan
jika Allah menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka pasti
berpaling juga, sedang mereka memalingkan diri (dari apa yang mereka
dengar itu)." (QS. Al-Anfaal [8] : 20-23)
Orang-orang beriman diseru kembali untuk taat kepada Allah dan
Rasul-Nya. Diingatkannya mereka agar jangan berpaling dari-Nya dan
jangan menyerupai orang-orang yang mendengar ayat-ayat Allah ketika
dibacakan kepada mereka, tetapi seakan-akan mereka tidak
mendengarkannya.
Maka, mereka itulah orang yang tuli dan bisu, meskipun mereka
mempunyai telinga yang dapat mendengarkan suara dan mulut yang
dapatmengucapkan kata-kata. Merekalah seburuk-buruk makhluk melata di
muka bumi, karena mereka tidak mengambil petunjuk dari apa yang mereka
dengar itu.
Seruan kepada orang-orang yang beriman di sini adalah agar mereka
taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Juga agar jangan berpaling dari-Nya
padahal mereka mendengar ayat-ayat dan kalimat-kalimat-Nya.
Seruan ini datang setelah dipaparkannya peristiwa-peristiwa
peperangan itu, setelah dilihatnya campur tangan Allah, rencana dan
ketentuan-Nya, pertolongan dan bantuan-Nya. Juga, setelah adanya
penegasan bahwa Allah menyertai orang-orang mukmn dan melemahkan tipu
daya orang-orang kafir.
Setelah semua itu, tidak ada alasan utuk tidak mendengar dan taat
kepada Allah dan Rasul-Nya. Berpaling dari Rasul dan
perintah-perintahnya sesudah itu semua tampak sekali sebagai sikap yang
mungkar dan buruk.
Hal itu tidak mungkin dilakukan oleh orang-orang yang memiliki hati
untuk merenung dan akal untuk berpikir. Oleh karena itu, disebutkannya
binatang melata di sini adalah sangat tepat.
Lafal dawaab ‘makhluk melata’ ini meliputi manusia dengan segala
sesuatunya, karena mereka melata atau merayap di muka bumi. Tetapi,
penggunaannya lebih banyak untuk binatang. Maka, pengucapannya secara
mutlak di sini menampakkan bayang-bayangnya. Gambaran binatang dalam
indra dan khayalan ini diberikan kepada “orang yang pekak (tuli) dan
bisu yang tidak mengerti apa pun.”
Dengan demikian, menurut bayang-bayang ini, mereka aalah binatang
melata, bahkan seburuk-buruk binatang melata. Karena, binatang itu
mempunyai telinga, tetapi tidak dapat mendengarkan kecuali kata-kata
yang tidak jelas.
Binatang itu mempunyai lidah, tetapi tidak dapat mengucapan kata-kata
yang dapat dimengerti. Hanya saja binatang mendapatkan petunjuk dengan
fitrahnya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan urusan kehidupannya
yang vital. Sedangkan, binatang-binatang melata (yang berupa manusia
sesat) itu urusannya diserahkan kepada akal yang tidak mereka
pergunakan. Sehingga, sudah barang tentu mereka menjadi makhluk melata
yang paling buruk.
“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi
Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa.
Kalau kiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah
menjadikan mereka dapat mendengar…” (QS. Al-Anfaal [8] : 22-23)
Yakni, menjadikan hati mereka lapang untuk menerima apa yang didengar
oleh telinganya. Akan tetapi, Allah tidak melihat kebaikan dalam hati
mereka dan tidak melihat adanya keinginan pada mereka terhadap petunjuk.
Karena, mereka telah merusak potensi fitrah untuk menerima dan
mematuhi seruan Allah. Maka, Allah tidak membukakan hati yang telah
mereka tutup dan fitrah yang telah mereka rusak itu.
Seandainya Allah menjadikan mereka mengerti dengan akal mereka
terhadap hakikat sesuatu yang diserukan kepada mereka, maka mereka pun
tidak mau membuka hati mereka dan tidak mau menaati apa yang mereka
ketahui itu.
“…Dan jika Allah menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka
pasti berpaling juga, sedang mereka memalingkan diri (dari apa yang
mereka dengar itu).”
Karena akal dapat mengerti, tetapi hatinya sudah tertutup, tidak mau
taat. Sampai-sampai andaikata Allah menjadikan mereka dapat mendengar
dan mengerti, mereka pun tetap tidak mau mematuhi.
Kepatuhan itu ialah mendengarkan dengan benar. Betapa banyak orang
yang pikirannya bisa mengerti, tetapi hatinya tertutup, tidak mau
menaati.
Sumber : eramuslim.com